Fenomena perundungan atau bullying, khususnya yang terjadi pada usia Sekolah Menengah Pertama (SMP), merupakan ancaman serius terhadap kesehatan mental dan perkembangan sosial remaja. Mengingat tingkat kerentanan emosi siswa pada fase ini, mengenali dan mengatasi Bahaya Perundungan Dini adalah tanggung jawab kolektif antara sekolah, keluarga, dan seluruh komunitas. Perundungan, baik dalam bentuk fisik, verbal, maupun cyberbullying, dapat meninggalkan luka psikologis mendalam yang berdampak jangka panjang, mulai dari penurunan prestasi akademik hingga risiko depresi dan kecenderungan bunuh diri. Mengabaikan tanda-tanda awal perundungan sama saja dengan membiarkan krisis mental berkembang tanpa terkendali.
Sekolah memegang peran fundamental dalam mencegah Bahaya Perundungan Dini melalui kebijakan yang ketat dan intervensi yang proaktif. Salah satu langkah konkret adalah pembentukan Tim Anti-Perundungan yang terintegrasi. Sebagai contoh data spesifik, SMP Negeri 50 Surabaya telah membentuk tim khusus yang terdiri dari Kepala Sekolah (Bapak Rahmat Hidayat), Guru Bimbingan Konseling (BK), dan perwakilan komite orang tua. Tim ini bertugas mengadakan pelatihan anti-perundungan wajib bagi semua siswa baru setiap awal semester, tepatnya pada Minggu pertama bulan Juli dan Januari. Selain itu, sekolah menetapkan prosedur pelaporan yang aman dan anonim melalui kotak saran fisik dan platform digital, yang dipantau setiap hari kerja oleh Guru BK, Ibu Kartika Sari, M.Pd., pada pukul 13.00 WIB.
Di sisi lain, peran keluarga sangat krusial dalam mitigasi Bahaya Perundungan Dini. Keluarga adalah benteng pertama pertahanan mental anak. Orang tua harus membangun lingkungan rumah yang terbuka sehingga siswa SMP merasa aman untuk bercerita tanpa takut dihakimi. Kurangnya komunikasi di rumah sering menjadi alasan mengapa korban perundungan memilih bungkam. Laporan dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jakarta pada akhir 2024 menunjukkan bahwa 65% kasus perundungan baru terungkap setelah korban menunjukkan gejala fisik atau penurunan drastis dalam prestasi, yang mengindikasikan bahwa keluarga terlambat menyadari masalah tersebut. Oleh karena itu, LPA merekomendasikan orang tua untuk melakukan “Check-in Emosi” informal dengan anak setiap malam, paling lambat pukul 20.00 WIB.
Kolaborasi antara sekolah dan aparat penegak hukum juga diperlukan, terutama dalam kasus cyberbullying yang melibatkan ancaman kriminal. Misalnya, Kepolisian Resor (Polres) Kota Depok secara rutin mengirimkan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA), di bawah koordinasi Aiptu Budi Santoso, untuk memberikan edukasi hukum kepada siswa-siswa SMP setiap kuartal ketiga tahun ajaran. Sesi ini fokus menjelaskan konsekuensi hukum dari penyebaran informasi pribadi, doxing, dan intimidasi online. Dengan demikian, siswa memahami bahwa tindakan mereka di dunia maya memiliki implikasi hukum di dunia nyata. Dengan strategi multi-lapisan yang melibatkan pendidikan, pengawasan konsisten, dan penegakan aturan yang tegas, kita dapat secara efektif melindungi mental siswa SMP dari Bahaya Perundungan Dini dan menumbuhkan lingkungan sekolah yang suportif dan aman.