Kepemimpinan Sosial Remaja SMPN 1 Bangil: Pembentukan Karakter Siswa Melalui Outbound dan Kegiatan Lapangan

SMPN 1 Bangil bertekad kuat dalam Pembentukan Karakter Siswa yang unggul, khususnya dalam aspek kepemimpinan sosial. Program ini dirancang untuk mengeluarkan potensi terpendam siswa, menjauh dari rutinitas kelas. Pendekatan ini menggunakan pengalaman nyata di luar ruangan sebagai media pembelajaran utama.


Salah satu metode yang paling efektif adalah melalui kegiatan Outbound. Aktivitas luar ruangan ini menantang siswa untuk bekerja sama, memecahkan masalah kompleks, dan menghadapi rasa takut. Setiap tantangan dalam kegiatan lapangan ini menjadi simulasi dari masalah kehidupan nyata.


Fokus utama adalah Kepemimpinan Sosial Remaja. Siswa belajar bahwa memimpin bukan hanya tentang memberi perintah, tetapi juga tentang mendengarkan, memotivasi, dan melayani. Mereka didorong untuk Kegiatan Lapangan yang membutuhkan teamwork dan pengambilan keputusan cepat.


Melalui permainan kelompok yang memerlukan strategi, siswa diuji kemampuan komunikasi dan kepercayaan antar anggota. Mereka harus Pembentukan Karakter Siswa yang tangguh, bertanggung jawab, dan mampu mengambil risiko terukur. Keberhasilan dalam tugas ini sangat bergantung pada sinergi tim.


Kegiatan Outbound juga mencakup sesi refleksi. Setelah setiap tantangan, siswa diajak untuk menganalisis apa yang berhasil dan apa yang perlu ditingkatkan. Refleksi ini penting untuk menginternalisasi nilai-nilai kepemimpinan dan Kepemimpinan Sosial Remaja yang positif.


Program ini secara signifikan membantu Pembentukan Karakter Siswa yang mandiri dan berani Mengambil Inisiatif. Dengan berada di lingkungan baru, mereka dipaksa untuk keluar dari zona nyaman dan menunjukkan kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap perubahan yang tak terduga.


Seluruh rangkaian Kegiatan Lapangan ini bertujuan mengajarkan siswa tentang pentingnya empati dan kesetaraan dalam sebuah tim. Setiap anggota, tanpa memandang latar belakang, memiliki peran penting. Ini adalah pelajaran krusial dalam menumbuhkan Kepemimpinan Sosial Remaja.


Hasilnya, siswa SMPN 1 Bangil menunjukkan peningkatan signifikan dalam kepercayaan diri dan kemampuan mereka dalam memimpin. Mereka menjadi lebih proaktif dalam organisasi sekolah dan Kegiatan Lapangan yang melibatkan masyarakat, menunjukkan kedewasaan berpikir.


Program Outbound ini telah membuktikan diri sebagai investasi jangka panjang dalam diri siswa. SMPN 1 Bangil tidak hanya menghasilkan siswa cerdas, tetapi juga pemimpin masa depan yang beretika, siap memikul tanggung jawab, dan mampu menjadi teladan bagi lingkungannya.

Etika Digital: Pentingnya Mencantumkan Sumber Asli untuk Menjaga Kejujuran Karya Tulis 

Di era banjir informasi saat ini, sumber daya digital menjadi sangat mudah diakses, namun hal ini juga memunculkan tantangan serius terkait integritas akademik, yaitu plagiarisme. Pentingnya mencantumkan sumber asli dalam setiap karya tulis, baik esai sederhana maupun tugas akhir, berakar pada Etika Digital yang fundamental. Etika Digital bukan hanya sekadar aturan teknis penulisan, tetapi sebuah komitmen moral untuk menghormati hak kekayaan intelektual orang lain dan menegakkan kejujuran diri sendiri. Dengan menjunjung tinggi Etika Digital, siswa dan penulis dapat menjaga kredibilitas karya mereka, memberikan pengakuan yang layak kepada para pemikir asli, dan turut serta dalam membangun ekosistem akademik yang sehat dan berintegritas.


Plagiarisme: Lebih dari Sekadar Menyalin

Plagiarisme sering disalahpahami sebagai sekadar menyalin seluruh teks tanpa mencantumkan sumber. Padahal, plagiarisme memiliki spektrum luas, termasuk:

  1. Plagiarisme Total: Mengambil seluruh karya orang lain dan mengklaimnya sebagai milik sendiri.
  2. Plagiarisme Parsial: Mengambil sebagian kalimat, paragraf, atau ide tanpa kutipan yang jelas.
  3. Plagiarisme Diri (Self-Plagiarism): Menggunakan kembali karya sendiri yang pernah dipublikasikan tanpa menyebutkan sumber aslinya.

Universitas X (contoh spesifik) mencatat bahwa dalam kurun waktu semester ganjil 2024/2025, terjadi 45 kasus plagiarisme serius di tingkat mahasiswa, sebagian besar karena ketidakmampuan mencantumkan sumber secara benar. Kasus-kasus ini ditangani oleh Komite Etik Universitas pada tanggal 12 April 2025, yang berujung pada sanksi akademik berat. Kejadian ini menegaskan bahwa ketidakjujuran, meskipun tidak disengaja, tetap memiliki konsekuensi.

Mencantumkan Sumber sebagai Tanda Penghormatan

Mencantumkan sumber (melalui kutipan dan daftar pustaka) adalah manifestasi paling konkret dari Etika Digital dan kejujuran akademik. Tindakan ini memiliki dua fungsi utama:

  • Menghormati Intelektual: Memberikan kredit kepada penulis, peneliti, atau pencipta ide asli. Ini adalah bentuk penghormatan atas waktu, upaya, dan keahlian yang telah mereka curahkan dalam menghasilkan karya tersebut.
  • Meningkatkan Kredibilitas: Bagi pembaca, mencantumkan sumber yang jelas menunjukkan bahwa argumen yang disajikan didukung oleh literatur ilmiah atau sumber tepercaya, sehingga meningkatkan validitas dan kredibilitas karya tulis.

Guru Bahasa Indonesia dan Sastra di SMA Cipta Karya (contoh spesifik) secara rutin mengadakan workshop penulisan ilmiah setiap Hari Selasa sore untuk mengajarkan berbagai gaya penulisan daftar pustaka, seperti APA Style atau MLA Style, sejak siswa kelas X. Guru menekankan bahwa kutipan yang benar adalah pembeda antara analisis yang berdasar dan klaim yang tidak berdasar.

Keterampilan Kritis di Era Informasi

Etika Digital dalam penulisan juga menuntut siswa untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis, yaitu memilih dan memilah sumber informasi. Di internet, tidak semua sumber memiliki tingkat keandalan yang sama. Siswa harus mampu membedakan sumber kredibel (seperti jurnal ilmiah, buku, atau laporan resmi lembaga) dari sumber tidak kredibel (seperti blog pribadi yang tidak terverifikasi atau postingan media sosial tanpa referensi).

Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dalam kampanye literasi digital pada bulan Maret 2026, selalu mengingatkan publik, termasuk pelajar, bahwa kemampuan untuk memverifikasi dan mencantumkan sumber adalah garis pertahanan pertama melawan penyebaran berita bohong (hoax). Dengan disiplin mencantumkan sumber, penulis tidak hanya jujur terhadap ide orang lain, tetapi juga jujur terhadap pembaca mengenai kebenaran informasi yang disampaikan. Ini adalah langkah fundamental dalam menjaga kejujuran karya tulis di tengah derasnya arus informasi digital.

Fondasi Remaja Sehat: Pembelajaran Keterampilan Hidup Sehat PMR di SMPN 1 Bangil

Palang Merah Remaja (PMR) SMPN 1 Bangil mengambil pendekatan holistik dalam pembinaan anggotanya. Mereka menyadari bahwa peran relawan tidak hanya saat darurat, tetapi juga dalam pencegahan penyakit sehari-hari. Oleh karena itu, Pembelajaran Keterampilan Hidup Sehat (PKHS) menjadi kurikulum utama, mendidik siswa menjadi peer educator kesehatan.


Pembelajaran Keterampilan Hidup untuk Kesehatan Fisik dan Mental

Modul PKHS PMR ini mencakup aspek fisik dan mental. Siswa diajarkan tentang gizi seimbang, pentingnya aktivitas fisik, dan kebersihan diri. Selain itu, mereka juga mendapat materi tentang manajemen stres dan membangun resiliensi, yang merupakan fondasi penting kesehatan mental remaja.


Menerapkan PHBS dan Sanitasi Sekolah yang Optimal

Sebagai agen kesehatan, anggota PMR aktif Menerapkan Kebiasaan Baik Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di sekolah. Mereka memimpin gerakan kebersihan lingkungan dan mengedukasi teman sebaya tentang sanitasi yang benar. Praktik langsung ini memastikan lingkungan sekolah mendukung PKHS.


Edukasi Kesehatan Reproduksi dan Pencegahan Narkoba

Pembelajaran Keterampilan Hidup Sehat juga mencakup topik sensitif seperti kesehatan reproduksi remaja dan bahaya penyalahgunaan Narkoba. Materi ini disampaikan secara informatif dan berbasis bukti, memberikan pemahaman yang benar kepada siswa agar mereka mampu membuat keputusan sehat dan bertanggung jawab atas tubuh mereka.


Metode Peer Education: Informasi yang Lebih Relevan

Pelatihan PMR di SMPN 1 Bangil mengutamakan metode peer education. Siswa dilatih untuk menyajikan informasi kesehatan dengan bahasa dan konteks yang relevan bagi teman sebaya. Pendekatan ini membuat pesan kesehatan lebih mudah diterima dan mengurangi stigma seputar topik-topik tertentu.


PMR sebagai Role Model Remaja Anti-Risiko

Anggota PMR didorong menjadi role model dengan menunjukkan gaya hidup sehat di sekolah. Mereka adalah representasi dari remaja yang menjauhi perilaku berisiko seperti merokok dan bullying. Sikap positif ini memperkuat efektivitas mereka sebagai penyebar informasi kesehatan.


Melalui keterlibatan aktif di PMR, siswa juga secara tidak langsung mengembangkan keterampilan manajemen waktu dan organisasi. Mereka belajar menyeimbangkan komitmen sekolah, kegiatan PMR, dan kehidupan pribadi, sebuah keterampilan hidup yang krusial untuk kesuksesan di masa depan.


Dampak Jangka Panjang: Mengurangi Kasus Penyakit di Sekolah

Implementasi PKHS yang gencar ini secara signifikan berkontribusi pada penurunan kasus penyakit menular di SMPN 1 Bangil. Siswa menjadi lebih sadar dan proaktif dalam menjaga kesehatan diri, menciptakan lingkungan belajar yang lebih fokus dan produktif.


Mengenali Trigger: Mengetahui Pemicu Emosi Negatif dan Cara Menghadapinya

Reaksi emosional yang kuat, seperti marah yang meledak-ledak atau kesedihan yang mendalam, seringkali terjadi bukan tanpa sebab. Ada stimulus atau situasi tertentu yang bertindak sebagai “tombol pemicu” (trigger) yang mengaktifkan respons emosional negatif tersebut. Bagi remaja, Mengetahui Pemicu Emosi ini adalah langkah pertama dan paling mendasar dalam perjalanan menuju self-regulation atau pengaturan diri yang efektif. Tanpa kesadaran ini, kita akan terus-menerus bereaksi secara otomatis, seringkali menyesali tindakan kita di kemudian hari. Mengetahui Pemicu Emosi mengubah kita dari reaktor pasif menjadi manajer emosi yang proaktif, memungkinkan kita mengambil kendali atas respons dan kesejahteraan mental kita.

Langkah pertama dalam Mengetahui Pemicu Emosi adalah Jurnal Reflektif. Siswa didorong untuk mencatat insiden yang memicu reaksi emosional negatif. Jurnal ini harus mencakup empat elemen penting: 1) Situasi yang terjadi, 2) Emosi yang dirasakan (Marah, Cemas, Sedih), 3) Reaksi yang dilakukan (Berteriak, Menarik Diri, Menangis), dan 4) Konsekuensi dari reaksi tersebut. Misalnya, pada hari Selasa, 22 April 2025, seorang siswa mencatat: “Situasi: Tugas kelompokku dihina oleh teman. Emosi: Marah. Reaksi: Langsung meninggalkan ruangan. Konsekuensi: Tugas tidak selesai dan hubungan teman memburuk.” Setelah beberapa kali mencatat, pola pemicu akan terlihat (misalnya: kritik terhadap pekerjaan, rasa diabaikan, atau kebisingan berlebihan).

Pemicu umum pada remaja dapat dikategorikan menjadi beberapa jenis, dan Mengetahui Pemicu Emosi ini membantu dalam klasifikasi. Pemicu bisa berupa Internal (seperti rasa lapar, kurang tidur, atau perasaan gagal) dan Eksternal (seperti kritik dari guru, cyberbullying dari teman, atau tekanan untuk berprestasi). Dalam konteks sekolah, pemicu eksternal yang paling umum adalah “perbandingan sosial” yang sering memicu kecemasan. Guru Bimbingan dan Konseling (BK) di sekolah mengadakan sesi kelompok kecil setiap minggu untuk membahas pemicu umum ini dan membantu siswa mengidentifikasi jenis trigger yang paling relevan bagi mereka. Sesi ini merupakan bagian dari program wajib Emotional Literacy yang dimulai sejak tahun ajaran 2024.

Setelah pemicu teridentifikasi, siswa dapat menyusun Strategi Penanggulangan (Coping Mechanism). Strategi ini harus dilakukan segera setelah pemicu dikenali, sebelum emosi memuncak. Jika pemicunya adalah kritik, strategi penanggulangannya bisa berupa “mengambil napas dalam-dalam lima kali dan memvalidasi perasaan sebelum merespons.” Jika pemicunya adalah tekanan akademik, strateginya mungkin adalah “menetapkan jadwal istirahat 15 menit setiap jam belajar.” Mengetahui Pemicu Emosi dan memiliki rencana penanggulangan yang siap digunakan adalah fondasi dari ketahanan mental. Dengan proaktif mengenali “tombol merah” emosional mereka, siswa dapat menjalani kehidupan sekolah yang lebih stabil dan produktif.

Membangun Sekolah Berbudaya Teknologi: Implementasi Smart School di SMP Negeri 1 Bangil

SMP Negeri 1 Bangil telah mengambil langkah maju dengan mengimplementasikan konsep Smart School, mengubah identitasnya menjadi Sekolah Berbudaya Teknologi. Inisiatif ini melampaui sekadar penggunaan gawai; ini adalah pembangunan ekosistem pendidikan terintegrasi yang memanfaatkan teknologi untuk efisiensi dan peningkatan kualitas pembelajaran.


Pilar pertama dari Smart School ini adalah sistem manajemen digital terpusat. Semua administrasi, mulai dari presensi, nilai, hingga komunikasi dengan orang tua, diintegrasikan dalam satu platform, menjadikan Sekolah Berbudaya ini efisien.


Sekolah Berbudaya ini mengubah proses belajar-mengajar melalui integrasi Learning Management System (LMS). Guru dapat mendistribusikan materi, kuis interaktif, dan tugas secara daring, memungkinkan pembelajaran yang lebih fleksibel dan personalisasi.


Fasilitas fisik juga mengalami revitalisasi. Perpustakaan diubah menjadi Perpustakaan Digital Krida Wacana, melengkapi koleksi buku fisik dengan akses ke ribuan e-book dan jurnal untuk mendukung riset siswa.


Aspek penting dari Sekolah Berbudaya Teknologi adalah literasi digital. Sekolah secara rutin mengadakan workshop bagi siswa dan guru tentang keamanan siber dan pemanfaatan perangkat lunak produktif secara etis.


Keunggulan SMPN 1 Bangil ini terlihat dari inisiatif mandiri siswa, seperti pembentukan tim riset yang memanfaatkan data digital untuk proyek ilmiah. Budaya inovasi ini ditumbuhkan melalui dukungan dan mentor profesional.


Dampak implementasi Smart School sangat terasa, terutama dalam memfasilitasi pembelajaran tuntas dan meningkatkan partisipasi aktif siswa. Hal ini memperkuat citra SMPN 1 Bangil sebagai Sekolah Berbudaya yang adaptif terhadap masa depan.


Melalui komitmen pada digitalisasi, SMP Negeri 1 Bangil tidak hanya mencetak lulusan yang menguasai materi, tetapi juga individu yang literat teknologi. Mereka siap menjadi pemimpin di era yang didorong oleh inovasi digital.

Mengukur Kepatuhan: Metode Evaluasi Disiplin Siswa yang Adil dan Membangun

Disiplin merupakan pilar penting dalam lingkungan pendidikan. Namun, mengukur kepatuhan siswa terhadap peraturan sekolah tidak boleh hanya berfokus pada hukuman atas pelanggaran, melainkan harus diarahkan pada pembentukan karakter dan tanggung jawab. Sekolah modern memerlukan Metode Evaluasi disiplin yang tidak hanya adil dan transparan, tetapi juga membangun dan restoratif. Metode Evaluasi disiplin yang baik harus mencerminkan upaya siswa untuk berintegrasi dan berkontribusi secara positif, bukan sekadar menghitung jumlah kesalahan. Melalui Metode Evaluasi yang tepat, sekolah dapat memastikan bahwa disiplin adalah alat pendidikan, bukan hanya alat kontrol. Bagaimana sekolah dapat merancang sistem evaluasi disiplin yang holistik dan efektif?

Pertama, Pencatatan Perilaku Positif (Buku Penghargaan). Sistem penilaian disiplin harus seimbang antara mencatat pelanggaran dan mengakui kepatuhan serta perilaku positif. Sekolah dapat menerapkan “Buku Penghargaan Disiplin” di mana guru dan staf dapat mencatat tindakan baik siswa, seperti membantu teman, inisiatif membersihkan kelas, atau mengembalikan barang hilang yang ditemukan pada pukul 09.00 WIB di koridor. Pengakuan positif ini, yang direkapitulasi setiap akhir bulan, memotivasi siswa untuk berbuat baik secara konsisten.

Kedua, Sistem Poin atau Merit/Demerit System. Pendekatan ini memberikan poin positif (merit) untuk perilaku baik dan mengurangi poin (demerit) untuk pelanggaran. Sistem ini harus transparan. Misalnya, keterlambatan masuk kelas setelah bel berbunyi pada pukul 07.15 WIB dapat mengurangi 5 poin, sementara partisipasi aktif dalam kegiatan sosial menambah 10 poin. Total poin kumulatif digunakan sebagai bagian dari rapor karakter siswa yang diserahkan kepada orang tua pada akhir semester.

Ketiga, Wawancara Konseling Restoratif. Daripada langsung memberikan hukuman berat, pelanggaran disiplin serius harus ditindaklanjuti dengan sesi konseling restoratif. Dalam sesi ini, yang biasanya difasilitasi oleh Guru BK Ibu Santi Dewi pada hari Rabu setiap minggunya, siswa didorong untuk merefleksikan dampak dari tindakan mereka terhadap komunitas sekolah, bukan hanya menerima sanksi. Fokusnya adalah memperbaiki kerusakan hubungan atau kerugian yang diakibatkan oleh pelanggaran tersebut.

Keempat, Penilaian Diri dan Refleksi Jurnal. Siswa diminta untuk secara berkala menilai kepatuhan dan kontribusi mereka melalui jurnal refleksi diri. Misalnya, setiap siswa mengisi formulir penilaian diri mengenai sejauh mana mereka telah mematuhi Tata Tertib Sekolah, yang kemudian didiskusikan secara pribadi dengan wali kelas. Ini melatih tanggung jawab pribadi dan kesadaran diri.

Kelima, Keterlibatan Pihak Luar untuk Kasus Serius. Untuk pelanggaran yang sangat serius (misalnya, perundungan berat atau tindakan kriminal kecil), sekolah harus berkoordinasi dengan pihak berwenang, seperti Petugas Kepolisian dari Unit Binmas Polsek setempat, yang dapat memberikan penyuluhan pada Kamis, 7 November 2025, sebagai bagian dari tindak lanjut dan edukasi. Namun, hal ini tetap harus menjadi bagian dari proses edukatif, bukan murni penghukuman, dengan tujuan akhir Mengukur Kepatuhan untuk memperbaiki perilaku.

Dengan mengadopsi metode-metode evaluasi yang adil dan membangun ini, sekolah dapat memastikan bahwa disiplin berfungsi sebagai alat transformatif yang membantu siswa tumbuh menjadi individu yang bertanggung jawab dan berintegritas.

Penanganan Sampah Elektronik (E-Waste): Mengapa Sekolah Sering Lalai Mengatasi Sampah Berbahaya Ini dalam Agenda Kerja Bakti Sekolah?

Rutinitas kerja bakti sekolah biasanya fokus pada sampah organik dan plastik, yang terlihat jelas dan mudah diatasi. Namun, jenis sampah paling berbahaya—Sampah Elektronik (E-waste)—sering luput dari agenda. Komponen beracun seperti merkuri dan timbal dalam Sampah Elektronik mengancam kesehatan dan lingkungan jika dibuang ke tempat sampah biasa.

Kelalaian ini muncul karena Sampah Elektronik dianggap sebagai masalah rumah tangga atau kantor, bukan sekolah. Padahal, perangkat komputer, charger rusak, dan baterai bekas dari laboratorium atau kantor guru menumpuk. Sekolah belum memiliki sistem pengumpulan khusus untuk jenis Sampah Elektronik ini.

Kurangnya kesadaran adalah hambatan utama. Siswa dan bahkan staf sering tidak menyadari bahwa mouse rusak atau ponsel bekas termasuk kategori limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Edukasi yang ada di sekolah masih terbatas pada daur ulang kertas dan plastik.

Selain kesadaran, faktor logistik menjadi kendala besar. Berbeda dengan sampah organik yang bisa dijadikan kompos, Sampah Elektronik memerlukan penanganan khusus oleh pihak ketiga yang berizin. Sekolah enggan menanggung biaya dan kompleksitas dalam menjalin kerja sama ini.

Program Green School akan kehilangan kredibilitasnya jika hanya fokus pada hal yang mudah. Mengajarkan daur ulang botol plastik sambil mengabaikan baterai bekas adalah kontradiksi. Sekolah harus menunjukkan tanggung jawab penuh terhadap semua jenis limbah, termasuk Sampah Elektronik.

Untuk mengatasi kelalaian ini, sekolah harus menetapkan hari pengumpulan Sampah rutin, misalnya tiga bulan sekali. Titik pengumpulan yang jelas dan aman harus tersedia, disertai papan informasi yang menerangkan bahaya Sampah.

Program kerja bakti harus diperluas, tidak hanya membersihkan fisik, tetapi juga inventory barang elektronik bekas. Siswa dapat dilibatkan sebagai “Duta E-Waste“, bertanggung jawab mengedukasi teman-temannya tentang cara memilah dan menyimpan Sampah dengan benar.

Sekolah harus berinvestasi dalam edukasi tentang bahaya timbal dan merkuri, mengintegrasikannya ke dalam mata pelajaran sains dan lingkungan. Dengan demikian, penanganan Sampah menjadi bagian dari pembelajaran yang menyeluruh dan mendalam.

Menciptakan sekolah yang benar-benar hijau berarti mengatasi masalah yang tidak populer dan sulit. Penanganan Sampah adalah ujian nyata komitmen lingkungan. Hanya dengan tanggung jawab ini, sekolah dapat mencetak generasi yang peduli lingkungan secara utuh.

Melepas Ketergantungan: Strategi Sekolah SMP Mempersiapkan Siswa Transisi ke Remaja

Jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) merupakan periode krusial dalam siklus perkembangan psikologis remaja, ditandai dengan upaya signifikan untuk Melepas Ketergantungan dari figur otoritas utama, seperti orang tua dan guru, menuju kemandirian penuh. Proses Melepas Ketergantungan ini sangat penting agar siswa dapat mengembangkan inisiatif, mengambil keputusan yang bertanggung jawab, dan memiliki rasa kepemilikan atas proses belajarnya. Strategi sekolah harus dirancang secara sengaja untuk memfasilitasi transisi ini, memastikan siswa tidak hanya matang secara akademis, tetapi juga secara emosional dan sosial. Sebuah studi yang diterbitkan oleh Asosiasi Psikolog Klinis Indonesia pada Jumat, 8 November 2024, menunjukkan bahwa remaja yang berhasil Melepas Ketergantungan memiliki tingkat resiliensi (daya lentur) terhadap tekanan sebesar 35% lebih tinggi dibandingkan teman sebaya yang masih sangat bergantung.

Strategi utama sekolah dalam membantu siswa Melepas Ketergantungan adalah melalui pendelegasian tanggung jawab dan peningkatan otonomi belajar. Misalnya, di SMP Negeri 2 “Cipta Karya” di Kabupaten Sidoarjo, sekolah menerapkan sistem mentoring sebaya yang dikelola sepenuhnya oleh siswa kelas IX. Dalam sistem ini, mentor bertanggung jawab penuh untuk membantu siswa kelas VII yang baru beradaptasi, mulai dari mengatur jadwal hingga mencari solusi atas kesulitan belajar. Guru hanya bertindak sebagai fasilitator pasif. Koordinator Program Bimbingan dan Konseling, Ibu Anna Wijaya, M.Psi., menyatakan bahwa program ini efektif dalam menumbuhkan rasa percaya diri dan kemampuan problem-solving di antara siswa. Siswa belajar bahwa mereka memiliki kapasitas untuk menyelesaikan masalah tanpa selalu mencari intervensi orang dewasa.

Lebih lanjut, program kepemimpinan siswa juga menjadi alat efektif dalam upaya Melepas Ketergantungan. Di sekolah tersebut, Komite Kegiatan Siswa (KKS)—setara dengan OSIS—diberi anggaran dan wewenang penuh untuk menyelenggarakan acara tahunan, seperti Pentas Seni dan acara bakti sosial. Mereka bertanggung jawab mulai dari perencanaan logistik hingga pelaporan keuangan. Dalam konteks tanggung jawab sipil, hal ini bahkan diakui oleh pihak keamanan. Pada Sabtu, 14 Desember 2024, dalam pertemuan koordinasi KKS dengan Bhabinkamtibmas Desa Sukamaju, Aipda. Heru Setiawan, petugas tersebut memberikan briefing mengenai tata cara pengurusan izin keramaian dan pentingnya disiplin waktu yang diatur sendiri oleh siswa, menekankan bahwa kemandirian berarti juga kepatuhan pada aturan yang berlaku.

Oleh karena itu, peran sekolah SMP dalam memfasilitasi proses Melepas Ketergantungan sangatlah fundamental. Dengan memberikan kesempatan yang terkontrol bagi siswa untuk mengambil risiko, membuat keputusan, dan menghadapi konsekuensi dari pilihan mereka sendiri, sekolah tidak hanya mendidik akademisi, tetapi juga melatih individu yang mandiri, percaya diri, dan siap menghadapi tanggung jawab sebagai anggota masyarakat yang dewasa. Proses ini adalah investasi krusial dalam pembentukan identitas remaja yang kuat dan independen.