Penanganan Sampah Elektronik (E-Waste): Mengapa Sekolah Sering Lalai Mengatasi Sampah Berbahaya Ini dalam Agenda Kerja Bakti Sekolah?

Rutinitas kerja bakti sekolah biasanya fokus pada sampah organik dan plastik, yang terlihat jelas dan mudah diatasi. Namun, jenis sampah paling berbahaya—Sampah Elektronik (E-waste)—sering luput dari agenda. Komponen beracun seperti merkuri dan timbal dalam Sampah Elektronik mengancam kesehatan dan lingkungan jika dibuang ke tempat sampah biasa.

Kelalaian ini muncul karena Sampah Elektronik dianggap sebagai masalah rumah tangga atau kantor, bukan sekolah. Padahal, perangkat komputer, charger rusak, dan baterai bekas dari laboratorium atau kantor guru menumpuk. Sekolah belum memiliki sistem pengumpulan khusus untuk jenis Sampah Elektronik ini.

Kurangnya kesadaran adalah hambatan utama. Siswa dan bahkan staf sering tidak menyadari bahwa mouse rusak atau ponsel bekas termasuk kategori limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Edukasi yang ada di sekolah masih terbatas pada daur ulang kertas dan plastik.

Selain kesadaran, faktor logistik menjadi kendala besar. Berbeda dengan sampah organik yang bisa dijadikan kompos, Sampah Elektronik memerlukan penanganan khusus oleh pihak ketiga yang berizin. Sekolah enggan menanggung biaya dan kompleksitas dalam menjalin kerja sama ini.

Program Green School akan kehilangan kredibilitasnya jika hanya fokus pada hal yang mudah. Mengajarkan daur ulang botol plastik sambil mengabaikan baterai bekas adalah kontradiksi. Sekolah harus menunjukkan tanggung jawab penuh terhadap semua jenis limbah, termasuk Sampah Elektronik.

Untuk mengatasi kelalaian ini, sekolah harus menetapkan hari pengumpulan Sampah rutin, misalnya tiga bulan sekali. Titik pengumpulan yang jelas dan aman harus tersedia, disertai papan informasi yang menerangkan bahaya Sampah.

Program kerja bakti harus diperluas, tidak hanya membersihkan fisik, tetapi juga inventory barang elektronik bekas. Siswa dapat dilibatkan sebagai “Duta E-Waste“, bertanggung jawab mengedukasi teman-temannya tentang cara memilah dan menyimpan Sampah dengan benar.

Sekolah harus berinvestasi dalam edukasi tentang bahaya timbal dan merkuri, mengintegrasikannya ke dalam mata pelajaran sains dan lingkungan. Dengan demikian, penanganan Sampah menjadi bagian dari pembelajaran yang menyeluruh dan mendalam.

Menciptakan sekolah yang benar-benar hijau berarti mengatasi masalah yang tidak populer dan sulit. Penanganan Sampah adalah ujian nyata komitmen lingkungan. Hanya dengan tanggung jawab ini, sekolah dapat mencetak generasi yang peduli lingkungan secara utuh.