Di era digital yang serba cepat ini, siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) adalah generasi yang paling rentan terpapar oleh banjir berita palsu atau hoax. Kemampuan literasi digital menjadi krusial, dan hal ini dimulai dengan keterampilan dasar untuk Pilah Informasi. Keterampilan ini, lebih dari sekadar menggunakan internet, adalah tentang kemampuan kritis dalam memproses data. Sekolah memiliki peran sentral dalam membekali siswa dengan ‘tameng’ digital ini, mengubah mereka dari konsumen pasif menjadi pembaca yang skeptis dan cerdas. Tanpa pelatihan yang memadai, siswa berisiko menjadi penyebar disinformasi yang tidak disengaja, sebuah ancaman nyata bagi kohesi sosial dan keselamatan diri.
Upaya untuk menanamkan budaya kritis harus diintegrasikan dalam kurikulum. Salah satu metode yang efektif adalah melalui simulasi kasus. Misalnya, pada mata pelajaran Bahasa Indonesia atau Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), guru dapat menyajikan contoh-contoh berita yang terbukti hoax—terkait kesehatan, bencana alam, atau isu sosial—yang pernah beredar di masyarakat. Siswa kemudian diminta untuk menganalisis berita tersebut secara bertahap. Menurut data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang dirilis pada akhir kuartal ketiga tahun 2024, kasus penyebaran hoax terkait isu SARA di media sosial didominasi oleh kalangan usia 15-25 tahun, menunjukkan bahwa fondasi literasi digital di jenjang SMP sangat vital. Oleh karena itu, langkah konkret harus diambil.
Langkah pertama dalam strategi Pilah Informasi adalah mengajarkan siswa untuk memeriksa sumber. Siswa harus dilatih untuk tidak langsung percaya pada informasi yang berasal dari akun media sosial anonim atau situs web yang tidak kredibel. Mereka harus mengidentifikasi apakah sumbernya adalah lembaga resmi, media massa terverifikasi, atau individu yang memiliki keahlian di bidang tersebut. Langkah kedua adalah verifikasi fakta. Ini dapat dilakukan melalui proyek kelompok di mana siswa diminta untuk membandingkan informasi yang meragukan dengan laporan dari kantor berita utama yang sudah terverifikasi oleh Dewan Pers. Sebagai contoh nyata, pada hari Rabu, 17 April 2025, SMP Cendekia Nusantara di Surabaya menggelar “Hoax Hunter Workshop” yang mewajibkan setiap siswa kelas VIII membandingkan minimal tiga sumber berita berbeda tentang isu ekonomi terkini dan menemukan inkonsistensi di antara laporan tersebut.
Langkah ketiga yang tak kalah penting adalah mengenali ciri-ciri khas hoax. Ciri-ciri ini sering Pilah Informasi mencakup penggunaan judul yang provokatif, bahasa yang sangat emosional atau sensasional, serta permintaan untuk segera membagikan pesan tersebut tanpa perlu verifikasi. Siswa perlu memahami bahwa tujuannya seringkali adalah memicu reaksi cepat dan irasional. Di sisi lain, mereka juga harus memahami risiko hukum dari penyebaran hoax. Dalam sebuah kasus siber pada 22 Juni 2024 di Kepolisian Resort Kota Besar Semarang, seorang pelajar SMP sempat diperiksa oleh petugas karena terbukti menyebarkan konten yang menyesatkan dan meresahkan melalui grup chat sekolahnya. Meskipun kasus tersebut diselesaikan secara kekeluargaan, kejadian ini menjadi peringatan tegas tentang perlunya edukasi yang intensif mengenai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Melalui inisiatif pembelajaran yang terstruktur dan berkelanjutan, sekolah dapat menumbuhkan kebiasaan Pilah Informasi yang akan melekat hingga siswa dewasa. Ini bukan hanya tentang menghindari hoax, tetapi membentuk generasi yang mampu berpikir logis, analitis, dan bertanggung jawab di tengah kompleksitas informasi global. Kemampuan untuk menyaring dan mengevaluasi informasi adalah fondasi untuk pengambilan keputusan yang baik, baik di kelas, di rumah, maupun di masyarakat kelak.